Sifat Ibadurrahman (Bag. 5): Menjauhi Majelis Kebatilan, Mengagungkan Firman Allah, dan Perhatian dalam Berdoa
Menjauhi majelis yang isinya kebatilan dan kemungkaran
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri (memberikan) persaksian palsu, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Salah satu akhlak ‘ibadurrahman dan keindahan sifat mereka ialah bahwa mereka selalu menjauhkan diri dari majelis yang dipenuhi kemungkaran, yang isinya hanyalah kebatilan dan ucapan yang Allah larang. Ini sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,
وَٱلَّذِينَ لَا يَشْهَدُونَ ٱلزُّورَ
“Dan orang-orang yang tidak menghadiri persaksian palsu, ..” (QS. Al-Furqan: 72)
Maksudnya, mereka tidak menghadiri majelisnya, tidak mendatanginya, dan tidak berkumpul bersama para pelakunya.
Yang termasuk dalam cakupan ayat tersebut adalah majelis-majelis yang isinya hanya seputar maksiat dan dosa saja, seperti gosip (gibah), adu domba (namimah), mengejek atau merendahkan (kehormatan) orang lain, kedustaan, nyanyian, menampakkan atau mempertontonkan maksiat (terang-terangan), serta hal-hal keji lainnya yang seringkali ditayangkan di televisi, smartphone (HP), dan media lainnya.
Termasuk juga dalam ayat di atas adalah majelis-majelis yang menggencarkan atau menyebarkan pemikiran sesat dan menyimpang, kerusakan pemikiran, dan amalan sesat yang biasanya dipopulerkan oleh orang-orang yang sesat dan menyesatkan. Termasuk juga perayaan-perayaan orang-orang musyrik maupun acara khusus mereka. Seorang muslim tidak boleh menghadirinya, apalagi memberi ucapan selamat atau ikut bergembira dengan diadakannya perayaan itu.
Maka, semua yang telah disebutkan di atas termasuk dalam maksud ayat tersebut. Oleh karenanya, para ulama salaf menafsirkan makna ‘az-zūr’ dalam berbagai macam ungkapan untuk menjelaskannya.
Setelah menyebutkan berbagai macam pendapat mengenai ayat tersebut dari para salaf as-shalih, Al-Hafizh Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah menjelaskan,
فأولى الأقوال بالصواب في تأويله أن يُقال: والذين لا يشهدون شيئًا من الباطل؛ لا شركًا، ولا غناءً، ولا كذبًا، ولا غيره، وكلُّ ما لَزِمَه اسمُ الزُّور؛ لأن الله عمَّ في وصفهم إيّاهم أنهم: لا يشهدون الزور
“Pendapat yang paling tepat dalam menafsirkannya adalah bahwa yang dimaksudkan (ayat) itu adalah mereka tidak menghadiri sesuatu pun yang di dalamnya ada kebatilan, baik itu kesyirikan, nyanyian, kedustaan, atau semisalnya, serta segala sesuatu yang termasuk dalam makna ‘az-zūr’ (kepalsuan atau kebatilan). Karenanya, Allah menyebut mereka (hamba-hamba Ar-Rahman) dengan sifat tidak menghadiri ‘az-zūr’.” (Lihat Jāmi‘ al-Bayān, 17: 523)
Hamba-hamba Ar-Rahman pastinya tidak mungkin menghadiri majelis-majelis tersebut dalam bentuk apa pun, dan yang paling utama ialah mereka tidak ingin terjatuh dalam (melakukan) kebatilan itu sendiri.
Pada potongan ayat tersebut, Allah Ta’ala juga berfirman,
وَإِذَا مَرُّوا۟ بِٱللَّغْوِ مَرُّوا۟ كِرَامًا
“Dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaidah, mereka melaluinya dengan menjaga kehormatan dirinya.” (QS. Al-Furqan: 72)
Maksudnya, mereka tidak bermaksud mendatanginya dan tidak pula sengaja mendekatinya. Akan tetapi, jika mereka kebetulan (terpaksa) melewati sebuah majelis yang penuh dengan kemungkaran atau kebatilan, maka mereka akan melewatinya dengan menjaga (kehormatan) diri darinya, tidak peduli dengannya, serta menjauhkan diri dari duduk bersama di dalamnya.
Mengagungkan firman Allah dan mengamalkannya
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ إِذَا ذُكِّرُوا بِآيَاتِ رَبِّهِمْ لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا
“Dan orang-orang yang apabila diberi peringatan dengan ayat-ayat Rabb mereka, mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)
Firman Allah Tabaraka wa Ta’ala sangatlah agung dan mulia di hati ‘Ibadurrahman (hamba-hamba Ar-Rahman). Mereka tidak menolaknya maupun berpaling darinya, tetapi mereka justru mengagungkannya, memuliakannya, mendengarkannya dengan baik, dan mengambil manfaat darinya.
Pada firman Allah ‘Azza wa Jalla,
لَمْ يَخِرُّوا عَلَيْهَا صُمًّا وَعُمْيَانًا
“Mereka tidaklah menghadapinya dalam keadaan tuli dan buta.” (QS. Al-Furqan: 73)
Maksudnya, pada saat mereka mendengarkan firman Allah, mereka tidak bersikap sebagaimana orang tuli yang tidak bisa mendengar, maupun orang buta yang tidak bisa melihat. Sebaliknya, mereka mendengarkan dengan baik (sungguh-sungguh), mengambil pelajaran (manfaat), lalu mengamalkan hukum dan petunjuk-Nya.
Qatadah bin Di‘amah rahimahullah menjelaskan tentang ayat ini,
لَمْ يَصِمُّوا عَنِ الحَقِّ، ولَمْ يَعْمَوا فِيهِ، هُم قَومٌ عَقَلوا عن الله، فانتفعوا بما سَمِعوا من كتابِ الله
“Mereka tidak menutup telinga dari kebenaran dan tidak berpura-pura buta terhadapnya. Mereka adalah orang-orang yang mau memahami ajaran Allah, sehingga bisa mengambil manfaat dari apa yang mereka dengar dalam Kitab-Nya.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dalam Tafsir-nya, 8: 2740)
Allah ‘Azza wa Jalla mencela orang-orang yang bersikap menyombongkan diri terhadap ayat-ayat Allah dan petunjuk-Nya. Kesombongan tersebut akan menyeretnya kepada dosa sehingga ia terus-menerus berada dalam kebatilan. Allah mengancamnya dengan azab neraka Jahanam. Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,
وَإِذَا قِيلَ لَهُ ٱتَّقِ ٱللَّهَ أَخَذَتْهُ ٱلْعِزَّةُ بِٱلْإِثْمِ ۚ فَحَسْبُهُۥ جَهَنَّمُ ۚ وَلَبِئْسَ ٱلْمِهَادُ
“Dan apabila dikatakan kepadanya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, kesombongan dirinya mendorongnya terus berbuat dosa. Maka cukuplah (balasan) baginya neraka Jahanam, dan sungguh, neraka itu seburuk-buruknya tempat tinggal.” (QS. Al-Baqarah: 206)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَبْغَضَ الْكَلَامِ إِلَى اللهِ أَنْ يَقُولَ الرَّجُلُ لِلرَّجُلِ: اتَّقِ اللهَ، فَيَقُولُ: عَلَيْكَ نَفْسُك
“Sesungguhnya ucapan yang paling Allah benci adalah saat seseorang berkata kepada yang lainnya, ‘Bertakwalah kepada Allah’, lalu ia menjawab, ‘Urus saja dirimu sendiri’.” (HR. An-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 10619, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam as-Silsilah ash-Shahihah no. 2598)
Perhatian dalam berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,
وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan orang-orang yang berkata, ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa’.” (QS. Al-Furqan: 74)
Di antara kesempurnaan sifat para hamba Ar-Rahman adalah perhatian mereka terhadap doa. Mereka sangat bergantung kepada Allah Tabaraka wa Ta’ala, berlindung kepada-Nya, kembali kepada-Nya, dan semua kebutuhan serta urusan agama maupun dunia mereka hanya mereka harapkan dari Allah Ta’ala semata, dan tiada sekutu bagi-Nya.
Kemudian ketika berdoa, mereka sangat bersemangat dalam berdoa dengan doa-doa yang penuh dengan faidah dan sangat bermanfaat. Misalnya, mereka berdoa,
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami dari istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata, dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Furqan: 74)
Doa ini termasuk doa yang paling lengkap (faidahnya) dan paling bermanfaat. Di dalamnya terkandung permohonan seorang hamba agar hatinya merasa bahagia (tenang dan nyaman) dengan keluarga yang saleh, yaitu pasangan dan anak-anak yang baik dalam ibadah, akhlak, muamalah, kehidupan, senantiasa berbakti kepada orang tua, dan kebaikan-kebaikan yang lainnya.
Kemudian, dalam doa mereka,
وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
“Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa”, mengandung permohonan agar diri mereka terlebih dulu dibenahi dan diperbaiki sehingga bisa menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada orang lain.
Karena seseorang tidak akan bisa menjadi suri teladan dan pemimpin yang baik bagi orang-orang yang bertakwa, jika dirinya sendiri belum meneladani orang-orang bertakwa sebelum dirinya. Ia harus terlebih dulu menanamkan kebaikan pada dirinya, berusaha sungguh-sungguh meraih sifat-sifat yang baik dan mulia tersebut. Pada saat itulah, orang-orang yang bertakwa akan bersemangat untuk meneladani dan mengikuti dirinya, serta mengambil manfaat dari bimbingan dan petunjuknya.
Oleh karena itu, setiap muslim sepantasnya bersemangat untuk senantiasa mengamalkan dan sering melafalkan doa ini, agar ia memperoleh kebaikan besar yang terkandung di dalamnya.
[Selesai]
Kembali ke bagian 4 Mulai dari bagian 1
***
Penerjemah: Chrisna Tri Hartadi
Artikel Muslim.or.id
Referensi:
Kitab Shifatu ‘Ibadirrahman, karya Syekh Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al-Badr hafizhahullah, 23–29.
Artikel asli: https://muslim.or.id/109166-sifat-ibadurrahman-bag-5.html